FATWA DSN No. 54/DSN-MUI/X/2006

FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 54/DSN-MUI/X/2006
Tentang
SYARIAH CARD

Dewan Syari’ah Nasional, setelah
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan
kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan
penarikan tunai, Bank Syariah dipandang perlu menyediakan
sejenis Kartu Kredit, yaitu alat pembayaran dengan
menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan
ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk
melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran
pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau
penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan
pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang
disepakati secara angsuran;
b. bahwa Kartu Kredit yang ada menggunakan sistem bunga
(interest) sehingga tidak sesuai dengan prinsip Syariah;
c. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang
sesuai Syariah, Dewan Syari’ah Nasional MUI memandang
perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card ( ( بطاقة الائتمان
yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT, antara lain:

a. QS. al-Ma’idah [5]:1:.
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.”

b. QS. al-Isra’ [17]: 34:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecualidengan cara yang lebih baik (bermanfa'at) sampai ia
dewasa; dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya.

c. QS.Yusuf [12]: 72:
“Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala
Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya,
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya.’”

d. QS. al-Ma’idah [5]: 2:.
”Hai orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatangbinatang
hadyu, dan binatang-binatang qala’id, dan jangan
(pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan
dari Tuhannya; dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekalikali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolongmenolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

e. QS. al-Furqan [25]: 67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.”

f. QS. Al-Isra’ [17]: 26-27:.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.”

g. QS. al-Qashash [28]: 26:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai
ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.’”

h. QS. al-Baqarah [2]: 275:
”Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdirimelainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghunipenghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”

i. QS. al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
j. QS. al-Baqarah [2]: 282:
“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak
secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara
tertulis…”.

k. QS. al-Baqarah [2]: 280:
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.”

2. Hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
a. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf
al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”
b. Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan
yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri
maupun orang lain.”
c. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’:
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah
seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah bertanya,
‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab,
‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan
lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia
mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah
berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak
mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya
menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun
menshalatkan jenazah tersebut.”
d. Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Hibban dari
Abu Umamah al-Bahili, Anas bin Malik, dan Abdullah bin
Abbas, Nabi s.a.w. bersabda:
“ Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung
utang).”
e. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash,
ia berkata:
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan
hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya
dengan emas atau perak.”
f. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu
Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya.”
g. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w.
bersabda:
“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya
di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari
kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama
ia (suka) menolong saudaranya”
h. Hadis Nabi riwayat Jama’ah, (Bukhari dari Abu Hurairah,
Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan
Ibn Umar, Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu
Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar,
Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu
Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah), Nabi s.a.w.
bersabda:
“…Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh
orang mampu adalah suatu kezaliman…”
i. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan
Ahmad dari Syuraid bin Suwaid, Nabi s.a.w. bersabda:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang
mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi
kepadanya.”
j. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w.
bersabda:
“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang
paling baik dalam pembayaran utangnya.”
3. Kaidah Fiqh; antara lain:
a. Kaidah:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b. Kaidah:
“ Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
c. Kaidah:
“ Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
d. Kaidah:
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama
dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama
tidak bertentangan dengan syari’at).”
e. Kaidah:
“Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan
(diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.”
Memperhatikan : 1. Pendapat fuqaha’; antara lain:
a. Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III,
hal. 77-78:
“(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu
[hak] yang akan terjadi [muncul], seperti piutang dari akad
qardh) yang akan dilakukan…. Misalnya ia berkata:
‘Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku
menjaminnya.’ Penjaminan tersebut tidak sah, karena
piutang orang itu belum terjadi (muncul).
Dalam pasal tentang qardh, pensyarah telah menuturkan
masalah ini --penjaminan terhadap suatu hak (piutang) yang
belum terjadi -- dan menyatakan bahwa ia sah menjadi
penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai
berikut: ‘Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini
utang sebanyak seratus… dan aku menjaminnya. Kemudian
orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang
dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang
(yang memerintahkan) tersebut adalah penjamin menurut
pendapat yang paling kuat (awjah).’ Dengan demikian,
pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman)
yang menyatakan dhaman (terhadap suatu hak yang akan
muncul [terjadi]) itu tidak sah bertentangan dengan
pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas
yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai)
dhaman.”
b. Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III,
hal. 202:
“(Hal yang dijamin) yaitu piutang (disyaratkan harus berupa
hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu,
tidak sah menjamin piutang yang belum terjadi … (Qaul
qadim --Imam al-Syafi’i-- menyatakan sah penjaminan
terhadap piutang yang akan terjadi), seperti harga barang
yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu
karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong
adanya penjaminan tersebut.”
c. As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-
Ijarah, hal. 394:
“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas
manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap
manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala
akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah
seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat.”
d. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, hal. 221-
222 :
“Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban
memberikan jaminan dalam bentuk harta.”
e. Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip
oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi
al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hal. 542-543:
“Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank
berjanji kepada eksportir untuk membayar hak-haknya
(eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima
oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah
boleh. Hukum “boleh” ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari
didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang
berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman
(kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram;
demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa
al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah
(dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi’i,
hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa
pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh.
Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman
(kafalah) dengan imbalan pada ju’alah yang dibolehkan
oleh madzhab Syafi’i.
Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang
bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah
dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan
nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan
memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap
rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi
hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa
disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad
ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan
(fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.
2. Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-
Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-
Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang
Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan.
3. Fatwa-fatwa DSN-MUI :
a. Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Ijarah
b. Fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah
c. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
d. Fatwa DSN No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh;
e. Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh
54 Syariah Card 10
Dewan Syariah Nasional MUI
4. Surat-surat permohonan fatwa perihal kartu kredit yang sesuai
dengan prinsip syariah dari bank-bank syariah, antara lain dari:
a. Bank Danamon Syariah;
b. Bank BNI Syariah; dan
c. Bank HSBC Syariah.
5. Hasil Workshop Dewan Syari’ah Nasional MUI bekerjasama
dengan DPbS-BI, dan Bank Danamon Syariah yang diikuti
pula oleh beberapa bank Syari’ah, di Ciawi Bogor, pada Mei
2005.
6. Pendapat Rapat Pleno pada hari Rabu, 18 Ramadhan 1427 H /
11 Oktober 2006.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CARD
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit
yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada)
antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana
diatur dalam fatwa ini.
b. Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak
penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil
al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil
al-bithaqah).
c. Membership Fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran
keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari
pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu
yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
d. Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant
kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang
menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa
perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan
(tahsil al-dayn);
e. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan
fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
f. Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah
jatuh tempo.
g. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat
keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui
seluruhnya sebagai dana sosial.
Kedua : Hukum
Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah
54 Syariah Card 11
Dewan Syariah Nasional MUI
a. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil)
bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua
kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara
Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai
dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas
pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah
kafalah).
b. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi
pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh)
melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit
Kartu.
c. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa
sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu.
Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
a. Tidak menimbulkan riba.
b. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan
syariah.
c. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf),
dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal
pembelanjaan.
d. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial
untuk melunasi pada waktunya.
e. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Kelima : Ketentuan Fee
a. Iuran keanggotaan (membership fee)
Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum
al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari
pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin
penggunaan fasilitas kartu.
b. Merchant fee
Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga
objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah)
atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan
penagihan (tahsil al-dayn).
c. Fee penarikan uang tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai
(rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan
penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan
jumlah penarikan.
d. Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas
pemberian Kafalah.
e. Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan
pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali
untuk merchant fee.
54 Syariah Card 12
Dewan Syariah Nasional MUI
Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
a. Ta’widh
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu
akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar
kewajibannya yang telah jatuh tempo.
b. Denda keterlambatan (late charge)
Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan
pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Ketujuh : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 18 Ramadhan 1427 H
11 Oktober 2006 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Dr. K.H. M.A. Sahal Mahfudh Drs. H.M. Ichwan Sam